Photobucket

Pages

Mengapa Timnas Kalah Terus?

Mengapa Timnas Indonesia kalah terus? Mengapa melawan Qatar di Gelora Bung Karno saja, Timnas kalah juga? Mengapa oh mengapa…

Banyak masyarakat, khususnya peminat bola, sampai ibu-ibu rumah-tangga, mengharapkan Timnas Indonesia menang. Tapi saat mereka kalah, masyarakat pun jadi males. “Males lah…kalah lagi, kalah lagi,” begitu keluh mereka.

Lalu apa yang salah dari PSSI? Apa yang salah dari persepakbolaan Indonesia? Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki prestasi?

1. Kesalahan terbesar orang Indonesia saat bicara tentang sepak bola ialah masalah PARADIGMA. Jadi ini bukan kesalahan PSII, Nurdin Halid, pemain, pelatih, suporter bola, dll. tetapi kesalahan semua orang yang bicara soal sepak bola. Inti dari paradigma ini adalah: “Sepak bola itu olah-raga yang disetting untuk manusia berpostur besar (Eropa).” Dari sisi lebar lapangan, ukuran bola, waktu bermain, aturan sanksi, dll. sepak bola di-setting untuk orang-orang berpostur Eropa (besar).

2. Postur Eropa itu rata-rata tinggi 180 cm, berat badan 80 kg, kecepatan lari dan daya tahan fisik kuat. Maka pemain-pemain Afrika yang berpostur tinggi dan kuat, meskipun mereka miskin, fasilitas minim, tetap bisa berprestasi dengan baik. Karena posturnya sesuai, kekuatan fisik juga sesuai.

3. Beberapa tim Asia, seperti Jepang, China, Korea (Utara & Selatan), pemain mereka juga besar-besar dan stamina kuat. Maka negara-negara itu bisa bersaing dalam kompetisi internasional. Malah ada pemain China yang posturnya lebih tinggi dari orang Eropa.

4. Di Timnas sendiri sebenarnya Indonesia pernah punya pemain dengan postur ideal. Ia adalah Robbi Darwis, pemain bertahan dari Persib. Pemain ini selain tinggi, tubuhnya besar, juga memiliki skill bermain bola. Robbi Darwis bisa menjadi STANDAR fisik pemain nasional. Kalau Indonesia pernah punya pemain seperti dia, berarti bisa dicari pemain-pemain lain yang semodel dia.

5. Kalau sepakbola cuma untuk olah-raga, game, atau pertandingan tingkat lokal; memang tidak dibutuhkan postur tinggi. Pemain dengan postur seperti apapun, silakan saja. Tapi kalau untuk meraih prestasi internasional, ya harus diperbaiki posturnya. Pemain seperti Irfan Bachdim itu di level internasional termasuk kecil, apalagi Octo Maniani. Dan untuk membangun Timnas ini bisa dibentuk sejenis “Akademi Timnas”.

6. Standar fisik para pemain nasional harusnya ditetapkan: tinggi minimal 180 cm, berat ideal 80 kg, kecepatan lari sekian-sekian, ketahanan stamina sekian-sekian, dan ketahanan benturan. Setelah itu baru bicara soal minat sepakbola dan skill bermain. Jangan dibalik, bicara minat dan skill dulu, lalu baru bicara soal fisik pemain. Ini salah…maka itu timnas Indonesia keok melulu.

7. Untuk mencari bakat-bakat pemaian nasional, bisa dimulai sejak SMA kelas 1. Cari anak-anak dengan postur tinggi badan bagus, kesehatan prima, dan suka sepakbola. Meskipun tidak pintar main bola tidak masalah, asalkan fisik sudah memenuhi syarat dan dia suka main bola. Fisik dan minat menjadi tolok ukur utama. Soal skill bermain, itu bisa diasah dalam pemusatan latihan.

8. Biar anak-anak SMA itu suka berlatih, berikan mereka tunjangan honor, fasilitas bermain, dan subsidi untuk perbaikan konsumsi. Selama mereka masuk dalam “proses pelatihan timnas”, mereka mendapat honor.

9. Dari 235 juta penduduk Indonesia, pasti mudah mencari sekitar 50 anak remaja dengan postur minimal 180 cm dan dia senang bermain bola. Pasti mudah. Wong, di sekolah anak saya saja (SMA), ada teman-temannya yang tingginya sekitar 2 m. Itu bukan hanya satu orang. Kalau sulit mencari, umumkan rekruitmen secara resmi, agar mereka mendaftar. Jadi, jangan lagi mengambil pemain timnas yang tingginya 160 cm, apalagi kurang dari itu. Nanti disebut “pemain bayi” oleh orang-orang Eropa.

8. Dari 50 anak yang terseleksi, sejak kelas 1 SMA, dia akan mengikuti jadwal-jadwal pelatihan sampai 3 tahun (sampai lulus SMA). Setelah itu akan diseleksi lagi untuk mencari sekitar 25 pemain nasional (tim inti dan cadangan). Sehingga akhirnya terbentuk formasi pemain nasional, dengan tinggi minimum 180 cm, berbadan kuat, dan memiliki skill bermain bola bagus.

9. Jika belum ada even-even pertandingan internasional, para pemain itu dititipkan di klub-klub profesional untuk berlatih, bermain, dan terjun di klub-klub itu. Secara legal, pemain itu milik “Akademi Timnas”, tetapi secara posisi mereka di klub-klub profesional untuk mematangkan kemampuan dan pengalaman bermain. Saat dibutuhkan, mereka dipanggil untuk bergabung dengan Timnas. Syukur-syukur kalau pemilik klub mau merekrut pemain itu sebagai pemain inti, sehingga mereka dibayar lebih baik oleh klub.

10. Para pemain itu tergabung ke Timnas dalam waktu tertentu, misalnya 5 tahun, sesuai kontrak. Selama itu mereka digaji oleh negara. Jika sudah tidak bermain lagi, mereka boleh memilih akan bermain di klub profesional, direkrut oleh BUMN, atau pilihan-pilihan yang baik bagi mereka.

Jadi, intinya begini: “Pemain Timnas ke depan haruslah orang-orang yang tinggi, fisiknya bagus, dan bermental kuat. Mereka bisa digembleng sehingga memiliki fisik bagus, skill bagus, dan mental kuat. Kalau pemain Timnas masih setinggi 160 cm atau kurang, wah…tak akan banyak berguna ngomong soal Timnas. Ya bagaimana lagi, wong secara mendasar sudah salah konsep.”

Tulisan ini disusun lebih karena “kasihan” melihat bangsa Indonesia. Sejak dulu ingin memiliki Timnas yang kuat, tetapi kalah terus. Kalau mau diperbaiki, ya perbaiki fisik para pemain dari sisi tinggi, berat badan, kecepatan, kekuatan, juga stamina tubuh. Itu intinya. Soal skill, bisa dilatih.